Muhammad Sholich Mubarok - BeningPost

Tamu adalah Raja. Begitulah orang bijak berkata. Namun rasanya pepatah itu tak dipakai oleh negara kita dalam menyambut para tamu dalam pesta olahraga se-Asia Tenggara, SEA Games XXVI. Segala persiapan yang mepet tenggat waktu membuat kita kehilangan muka dan harga diri.

Kecacatan persiapan bisa dilihat dari peristiwa amblesnya truk pengangkut air di lokasi pengerjaan proyek gorong-gorong di Jalan Jenderal Sudirman. Aspal yang digunakan di lokasi perbaikan gorong-gorong itu, katanya, memang kurang padat. Akibatnya, dua ban belakang truk seberat 8 ton pun ambles sedalam 40 cm. ‘Bencana’ tersebut tentu saja berefek pada  ruas jalan di jalur lambat Jalan Sudirman dari arah Bursa Efek Indonesia menuju Bundaran Senayan pun terhambat. Lokasi pengerjaan gorong-gorong itu awalnya memang akan ditutup dengan pelat baja namun Direktur Utama PT Ide Murni Utama Daniel Hutapea berdalih bahwa itu karena adanya keberatan dari berbagai pihak maka pihaknya melakukan pengaspalan sementara.

Pemandangan lain juga bisa disaksikan dari adanya sejumlah wartawan lokal dan asing mengeluhkan kondisi media center SEA Games XXVI di Gedung Piramida Biri, Senayan, Jakarta, yang belum bisa digunakan. Wartawan asal Thailand, Onuma Vechkun yang merasa tak dirajakan Indonesia, pun akuinya, Kamis (10/11).

Onuma terpaksa menulis berita di hotel karena komputer jinjing, printer, dan jaringan internet di media center belum tersedia. Selain fasilitas, Onuma juga mengeluhkan sulitnya mendapatkan jadwal pertandingan secara lengkap dari panitia. Sementara pihak panitia dengan entengnya mengatakan baru akan memasang sekitar 30 komputer jinjing, 10 scanner, dan jaringan internet Jumat (11/11). Padahal, beberapa cabang olah raga SEA Games telah dipertandingkan sejak awal bulan.

Realitas yang cacat ini tentu saja tak bisa ditampik sekalipun Wakil Presiden, Boediono, Menpora Andi Mallarangeng dan panitia The Indonesian SEA Games Organizing Committee (Inasoc) selalu meluncurkan pernyataan bahwa persiapan sudah matang. Mereka seakan dalam legenda Candi Prambanan dimana Bandung Bondowoso yang harus membuatkan candi dengan 1000 arca dalam semalam untuk seorang Roro Jonggrang. Permintaan itu hampir terpenuhi sebelum Jonggrang meminta warga desa menumbuk padi dan membuat api besar agar terbentuk suasana seperti pagi hari.

Tak jauh beda bukan?Dan kenyataan lapangan telah membuktikan.

Persiapan yang acak kadut itu berdampak besar bagi berbagai pihak khususnya atlet. Tak ada kesempatan bagi atlet kita maupun atlet tamu untuk menguji kelayakan fasilitas yang ada. Bila boleh membandingkan, Indonesia tidak sigap seperti kebanyakan Negara lain yang mana telah menyiapkan fasilitas arena pertandingan, penginapan bahkan media center yang sudah resik dalam waktu sebulan sebelum berlangsungnya event. Dengan begitu atlet yang empunya ‘rumah’ bisa menjajal untuk uji kelayakan dan kepatutan sarana dan prasarana tanding hingga ngelotok.

Keleletan dalam menyiapkan SEA Games ini juga ulah keleletan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal membahas anggaran. Dan muncullah kasus suap wisma atlet yang cukup jadi bukti. Terang benderang kejadian ini juga mengindikasikan betapa dedikasi yang ‘berwajib’ sangat rendah--atau memang sengaja rendah. Baik pejabat maupun politikus Senayan menjadikan pengaturan anggaran sebagai lahan basah untuk mengeruk uang panas lewat praktek kotor bin najis.

Apapun jadinya, SEA Games sudah didepan mata. Menjadi tuan rumah yang menjamu dengan baik tamu nampaknya hanya bisa dilakukan dengan tawakal saja sembari berbenah pasrah.Kesadaran tinggi warga sangat dibutuhkan agar berlaku sopan santun dengan tak menonjolkan adat yang tak beradab. Tak ada kegaduhan dalam berlangsungnya acara atau tak membuang sampah seenak otaknya, misalnya.

Berharap saja ajang olahraga bergengsi ini bisa membawa bau wangi untuk menutupi persiapan kita yang penuh ‘bau’dengan cara merebut juara umum. Agar ajang SEA Games tak membuat kita makin gemes dengan negara sendiri.

Semoga.

 
 
 
Redaksi
 
mubarok@beningpost.com