Foto: Dadang Kusnandar/www.beningpost.com

HAMPIR 3 (tiga) tahun Kawula Muda Nadhatul 'Ulama (Kamu NU) Cirebon menggelar pengajian tasawuf di Sekretariat Pengurus Cabang NU Kota Cirebon Jalan Aria Kemuning atau Jalan Garuda dekat Ampera. Kitab berbahasa Arab tanpa harakat, Syarah Iqodzul Himam menjadi referensi. Dengan kitab kuning itu jamaah diajak mendengar dan menyimak keterangan Dr. Sutejo Ibnupakar (yang akrab dipanggil Kang Tejo), guru sekaligus teman yang asik untuk diskusi.

Nyatanya dalam rentang waktu cukup lama, kendati hanya tiap Rabu malam pengajian digelar 2 (dua) minggu sekali, bacaan baru sampai ke halaman 80. Ini membuktikan bahwa kitab tersebut memang menarik. Pertama karena membahas masalah ketuhanan, hubungan vertikal manusia dengan tuhan, sehingga tidak memerlukan dalil-dalil syari`at. Bukan perkara ibadah dalam pengertian wadag melainkan spitualitas yang muncul dari sistem keagamaan yang plural. Itu sebabnya pengajian ini terbuka bagi semua kalangan, sebagaimana pengajian NU di tempat lain yang bersifat lintas agama.

Kedua, pengajian lesehan dengan tikar dan karpet atau bekas spanduk ini dalam kata-kata Prof. Dr. Jamali Sahrodi, Dirertur Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, merupakan pengajian ala kaum urban. Kaum yang diam-diam memerlukan kesejukan hati di tengah rutinitas hidup dan mekaya (yang tidak kaya-kaya). Berkumpulnya puluhan anggota NU Kota dan Kabupaten Cirebon di pengajian itu menjadi semacam tali penyambung silaturahim yang menyenangkan. Betapa tidak. Selain bebas mengambil posisi duduk (bersila, kaki diangkat satu, kadang ada yang sambil gelelengan), asap rokok memenuhi ruangan tanpa AC ini. Guru dan murid sama-sama menghisap rokok. Ditambah lagi Johandi Abu Ismail menyediakan kopi, teh serta jaburan.

Pengajian yang langka pada organisasi Islam lainnya ini menampakkan adanya gairah dan ghiroh spiritualitas. Murid dengan latar pendidikan SLTA hingga S3 memerhatikan penjelasan Kang Tejo dengan takzim. Entah mengerti atau tidak, yang penting dengarkan. Saya termasuk yakin dengan mendengar, lama kelamaan pemahaman Syarah Kitab Iqodzul Himam akan diperoleh. Malah berharap basyiroh (mata batin) akan datang menghampiri. Harapan yang disandarkan pada ketekunan menyimak, bertanya, atau sesekali ragu atas penjelasan Kang Tejo. Keraguan yang berawal dari pengetahuan spiritualitas yang telah diperoleh pada pengajian lain.

Pengajian Tasawwuf

Ketiga, pengajian Rabu Malam di kantor PCNU ini tetap berjalan dan makin semarak manakala suatu ketika disinggahi oleh Sekretaris Jendral PBNU dari Jakarta. Informasi organisasi pun menjadi terbuka dan disajikan dengan gamblang serta didiskusikan untuk memperjelas peta NU di Indonesia. Dengan demikian mengaji di KamuNU membawa pesertanya kepada suatu keadaan objektif memandang manusia dan seluruh mahluk tuhan. Kita tidak lagi terkesima dan percaya begitu saja kepada orang yang mengaku bersua dalam mimpi dengan Rasulullah Muhammad saw. Pun tidak silau memandang kelebihan orang yang kebal senjata, anti bacok, tidak mempan ditembak, termasuk kepada dongeng seseorang yang katanya bisa berada di 2 (dua) tempat berbeda dalam satu waktu.

Menciptakan suasana setara antara guru dan murid dalam pelajaran tasawuf bukan hal mudah. Tidak mudah pula menjelaskan sebuah pemahaman kepada murid dengan latar pendidikan yang variatif. Itu sebabnya Kang Tejo sering menganalogikan penjelasannya dengan pendekatan keseharian agar mudah dipahami. Misalnya kalimat seperti ini, “Hanya wali yang mengetahui wali yang lain”. Kang Tejo memberi contoh, “Kang Wasi malem Minggu jalan-jalan ning Siliwangi. Toil ciriaken endi telembuk endi sing dudu telembuk. Pasti bli bisa. Kenapa? Wong bli weru”. Spontan ujaran/ seloroh ini mengundang tawa. Namun di balik itu hanya upaya mempermudah pemahaman. Bukan untuk tujuan lain.

Keempat, selama hampir 3 (tiga) tahun ini Kang Tejo tidak menerima upah sepeser pun. Wow, ini menarik, manakala manusia tak habis berlomba menumpuk harta, mencari puncak-puncak ketinggian finansial, dosen S1 IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini rela mengamalkan ilmu yang diperolehnya dengan cuma-cuma.  Bahkan pada acara 10 Muharam tahun lalu, Kang Tejo membawakan 2 (dua) panci besar Bubur Suro dari rumahnya untuk dinikmati peserta pengajian Rabu Malam. Jadi buat saya menjadi peserta ngaji yang jarang absen tidak sekadar menambah pengetahuan belaka, akan tetapi mencoba mengasah bening jiwa dalam rangka pencarian bashiroh.

Kelebihan lain pada pengajian Reboan ini adalah aktualitas. Maksudnya apabila bertepatan dengan momen tertentu, misalnya akhir tahun Masehi 2015, maka Kang Tejo hanya membaca sebaris isi kitab Syarah Al-Hikam dan selebihnya menjelaskan refleksi akhir tahun. Atau ketika bertepatan dengan waktu jelang Muktamar NU tahun 2015 di Jombang Jawa Timur, Kang Tejo membahas serba sedikit tentang N, baik menyangkut keorganisasian maupun hal-hal yang bakal muncul pada muktamar.

Kelima, selain mengaji tasawuf, kami pergi berziarah ke situs/ makam Wali Sanga dan makam Bung Karno di Blitar pada Agustus 2015 yang lalu. Wisata ziarah ini selain mempererat hubungan batin sesame jamaah Reboan, juga untuk dzikrul maut alias mengingat mati. Kunjungan ke makam wali menjadi semacam pertalian sejarah, bahwa rentang waktu yang panjang akan terasa dekat ketika kita duduk bersimpuh dan berdo`a di depan makam orang besar. Imajinasi akan menerawang ke masa ratusan tahun lalu tatkala para wali membumikan Islam di Jawa melalui pendekatan kultural  setelah Kerajaan Islam Demak paska kepemimpinan Sultan Trenggono (1521 - 1546) terbelah dan melemah. Ketika Sultan Trenggono (keturunan Sunan Ampel) masih kuasa, di Kerajaan Demak masih ada Dewan Syuro yang bertugas membantu proses penyebaran agama Islam di Jawa dan sekitarnya. Konon Sunan Ampel yang bernama Maulana Rahmatullah (Raden Rahmat) bin Ibrahim Al-Hakim (Ibrahim Asmoro-Sunan Gresik/ Maulana Malik Ibrahim, itulah yang menurunkan raja-raja Demak dan Pajang.

Dengan kata lain pengajian Reboan membawa pesertanya berkelana memotret diri sendiri untuk kontemplasi tentang spiritualitas yang sangat subjektif itu. Tuhan tidak menilai seseorang (bahkan) dari agamanya, melainkan dari ketakwaan kepada Al-Khaliq. Jika demikian seloroh Kang Tejo, “Kenapa orang Islam memilih menikahi putri para kian, dan tidak menikahi para pelacur lalu mengembalikan ke masyarakat? Bukankah itu tidak menambah empati kita dan tidak mengasah mata batin kita?”. Begitu juga, “Sebaiknya para pemuda/ bujangan muslim menikah dengan orang-orang Hindu Bali untuk menambah jumlah kaum muslim”. Seloroh ini menjadi penyegar pengajian Reboan.

Keenam, jika Anda tertarik untuk datang dan jadi peserta jamaah pengajian Reboan di kantor PCNU Kota Cirebon, aja klalen gawa udud (jangan lupa membawa rokok) masing-masing karena Johandi Abu Ismail tidak merokok.***

 

(rr/DK)