www.republika.co.id

Salah satu warga relokasi penggusuran Kampung Pulo, Isma, mengatakan, "Orang susah masak makin dibikin susah," saat berbincang dengan merdeka.com beberapa waktu lalu. Sejak tinggal di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Jatinegara, Jakarta Timur, banyak warga dari penggusuran Kampung Pola mengaku menderita.

Sudah delapan bulan ini Isma bersama dengan anggota keluarganya menghuni salah satu blok di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Jatinegara, Jakarta Timur. Dia pun mengaku terpaksa menempati Rusun itu setelah sebelumnya di janjikan berbagai fasilitas lebih manusiawi ketimbang tinggal di bantaran kali. Namun sejatinya, janji itu hanyalah bualan.

Menurut Isma, janji jika pindah ke Rusunawa dengan fasilitas tempat tidur, lemari, dan peralatan lainnya yang sudah tersedia di dalam rusun hanya bualan. Ketika pindah ke Rusun itu, Isma hanya mendapati ruangan kosong tanpa perabotan seperti di janjikan pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Janjinya ada, ada lemari tempat tidur dan lain-lain. Pas ke sini ya kayak begini, banyak yang bocor," kata Isma dengan nada kesal.

Apalagi Isma mengeluhkan, sudah lima bulan ini, dia harus membayar uang sewa sebesar Rp300 ribu. Menurut Isma, ketentuan uang sewa bulan ini dirasa sangat berat bagi warga korban penggusuran Kampung Pulo. Terlebih, jika uang sewa itu telat dibayar, maka Isma juga harus membayar denda sebesar Rp6.000 sesuai dengan perjanjian dia tanda tangani bersama dengan penghuni lain yang juga di gusur dari Kampung Pulo.

Hal paling berat lain bagi warga gusuran Kampung Pulo ialah dengan diwajibkannya membuka rekening tabungan Bank DKI dengan setoran tiga kali biaya sewa Rusun. Karena berat untuk membayar uang setoran sebesar Rp900 ribu, banyak warga gusuran kemudian hanya menyetor Rp50 ribu.

"Kita kalau bayar Rp900 ribu kita mah enggak kuat," ujar Isma.

Apa yang dikeluhkan Isma, sama seperti halnya juga dialami oleh Riko, nama samaran. Penghuni tower B rusun Jatinegara, lantai 11 ini mengatakan pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya memberikan janji palsu kepada warga gusuran Kampung Pulo. Riko menuturkan, ketika penggusuran dilakukan 8 bulan lalu, warga dipaksa untuk menandatangani perjanjian sepihak untuk angkat kaki dari Kampung Pulo.

"Di sini bukan tempat impian kita. Dulu pas pindah kita kan buru-buru ya tanda tangan aja langsung," ujar Riko dengan nada kesal.

Riko pun kini mengalami ketakutan bisa-bisa tidak memiliki tempat tinggal di Rusunawa. Sebab, dalam perjanjian itu, Pemprov DKI Jakarta memiliki wewenang untuk menentukan layak atau tidaknya penghuni Rusun setelah mereka dua tahun. Perjanjian yang ditandatangani oleh warga dengan Pemrov DKI itu berlaku hingga tanggal 2 November 2017.

"Kita enggak tahu selanjutnya mau tinggal di mana kalau perjanjian itu habis," ujar Isma dan Riko sambil meratapi nasibnya.

Pindahnya warga Kampung Pulo untuk tinggal di Rusun Jatinegara memang banyak membuat warga terikat dengan berbagai peraturan dinilai memberatkan. Menurut Isma, warga tak bisa berbuat banyak untuk menambah penghasilan mereka dengan cara berjualan. Dalam pasal 7 di nota perjanjian itu, ada larangan yang tidak memperbolehkan Rusun sebagai tempat usaha.

"Ya kalau kita enggak buka usaha di sini kita mau makan apa? waktu di sana (kampung Pulo) hidup dari dagang mie, ya di sini uang dagangnya cuma cukup buat jajan anak," keluh Isma.

(rr/Knf)