news.liputan6.com

Direktur Eksekutif Indonesia Lingkungan Hidup Watch (ILW), Fariz Ismu Amir Hatala menilai, pembahasan dua payung hukum reklamasi Teluk Jakarta, mubazir. Selain kini dihentikan, pembahasan itu tidak bermanfaat untuk rakyat.

Kedua payung hukum itu adalah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta serta Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) oleh DPRD dan Pemprov DKI Jakarta.

Kesia-siaan pembahasan kedua raperda tersebut tecermin dari beberapa hal. Pertama, pemborosan keuangan negara.

"Belasan, mungkin puluhan kali rapat digelar untuk membahas dua raperda itu dan menghabiskan uang ratusan juta rupiah untuk konsumsi dan keperluan rapat lainnya. Tapi, kini dihentikan pembahasannya dan publik tidak mendapatkan manfaat apa-apa," ujar Fariz kepada‎ wartawan, Senin (23/5).

Minimnya partisipasi anggota Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD, perwakilan Pemprov DKI, dan pihak terkait lain juga menjadi faktor selanjutnya. Sebab, kata dia, meski minim kontribusi gagasan dari berbagai unsur kelompok, dewan kala itu sempat beberapa kali akan mengesahkan melalui sidang paripurna.

"Kalau seandainya disahkan, tentu akan mubazir bagi rakyat karena aspirasi mereka, khususnya warga pesisir dan nelayan, tidak terakomodasi," jelas eks aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini.

Kesia-sian kedua tecermin dari kerangka tata ruang yang diatur, mengingat hanya mencantumkan megaproyek 17 pulau buatan.

"Padahal, Januari 2016, pemerintah pusat telah mencanangkan proyek giant seal wall (tanggul laut atau GSW) yang tercantum dalam Perpres No. 3/2016. Apabila disahkan, tentu tak sampai lima tahun akan kembali direvisi dan uang negara kembali dihambur-hamburkan untuk menyusun ulang," bebernya.

Menurut Fariz, Pemda DKI Jakarta juga tak berwenang untuk menyusun kedua aturan tersebut. Sebab, sesuai amanat UU No. 27/2007 sebagaimana diubah dalam UU No. 1/2014, megaproyek yang menelan anggaran hingga ratusan triliun merupakan kewenangan pemerintah pusat.

"Dan sebelum akhirnya kasus ini berpolemik karena terbongkarnya kasus dugaan suap yang menjerat anggota DPRD dan pengembang, pemerintah pusat tidak mewacanakan reklamasi 17 pulau. Jadi, seharusnya ada koordinasi dahulu dengan pemerintah pusat, bukan kepada pengembang," paparnya.

Itu semua, lanjut dia, adalah lingkaran setan dari pembahasan dua raperda reklamasi, selain momok-momok lainnya. “Seperti pelampauan kewenangan oleh gubernur, marjinalisasi kaum papa di pesisir, dan kasus korupsi," tegasnya.

(rr/TS)