www.konfrontasi.com

Suasana politik jelang pesta demokrasi di Jakarta pada Februari 2017 diwarnai kekhawatiran akan sikap tak netral dari Presiden Joko Widodo.

Dengan mudah indikasi kuat ini dapat dilihat, karena salah satu kandidat, Basuki Purnama alias Ahok, adalah sohib kental Jokowi yang berpasangan dengannya saat Pilkada DKI Jakarta tahun 2012.

Demikian dikatakan peneliti dari The Indonesian Reform, Martimus Amin, Sabtu (23/7).

Ahok yang menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI juga memiliki peran besar memenangkan Jokowi dalam Pilpres 2014. Dia menyebut Ahok sebagai pembuka keran pendanaan dari "cukong-cukong" kepada Jokowi.

"Terkait rencana penghentian poyek reklamasi oleh Pemerintah Pusat, tidak mengherankan jika Ahok sampai mengatakan bahwa Jokowi tidak akan terpilih menjadi presiden jika tidak ada campur tangan dana dari cukong," ujar Martimus.

Martimus juga yakin, kewajiban Jokowi memuluskan langkah Ahok menjadi Gubernur kembali, termasuk menekan PDIP untuk mendukung Ahok, karena Ahok adalah pemegang kartu truf Jokowi saat menjabat Gubernur DKI Jakarta dan kampanye Pilpres.

Selaku pemegang kartu truf Jokowi, lanjutnya, tidak aneh jika Ahok begitu gampang menyetir Presiden Jokowi seperti menitipkan calon Kapolri tanpa melalui prosedur Wanjakti. Ahok juga kerap menantang pembantu presiden, mencandai menteri tanpa mengindahkan tata krama Istana, dan menyetir KPK memberangus lawan politiknya.

Besarnya pengaruh Ahok terlihat ketika ia mampu menjadikan KPK sebagai "pengacara" untuk membela mati-matian dirinya dalam kasus lahan Sumber Waras. Ahok bisa membuat KPK berani menampik bukti hadil audit BPK dalam kasus Sumber Waras yang merugikan keuangan Pemda DKI ratusan milar rupiah.

"Sekadar memuluskan pemenangan Ahok menjadi Gubernur, wajib bagi Jokowi," jelasnya.

(rr/Rmol)