nasional.republika.co

Rapat paripurna DPR mengesahkan Rancangan Undang-undang Pemilu, Jumat (21/7) dini hari, yang menetapkan bahwa ambang batas pemilihan presiden sebesar 20% dari kursi DPR atau 25% suara sah nasional pemilu legislatif tersebut.

Artinya, partai politik dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden jika menduduki setidaknya 20% kursi DPR.

Keputusan walk out Fraksi Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN mewarnai pengesahan beleid ini.

Namun, belum juga sehari disahkan menjadi Undang-undang, pasal dalam UU Pemilu akan diujimaterikan sekelompok masyarakat ke Mahkamah Konstitusi. Pihak yang telah memastikan akan menggugat pasal tersebut adalah pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra sesaat setelah UU Pemilu disahkan.

"20 Juli 2017 DPR telah mensahkan RUU Pemilu yang menetapkan keberadaan presidential treshold 20 persen. Secepat mungkin setelah RUU ini ditandatangani oleh Presiden dan dimuat dalam lembaran negara, saya akan mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi," ujar Yusril dalam keterangan tertulisnya, pada Jumat (21/7).

Menurutnya, perjuangan politik partai-partai yang menolak adanya presidential threshold telah selesai. Setelah partai tersebut gagal memperjuangkan, nol persen presidential threshold sebagai kesepakatan bersama di antara fraksi-fraksi DPR.

"Kini menjadi tugas saya untuk menyusun argumen konstitusional untuk menunjukkan bahwa keberadaan presidential treshold dalam pemilu serentak adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) jo Pasal 22E ayat (3) UUD 45," ujar Yusril dikutip dari Republika.co.id.

Yusril mempertanyakan, materi yang tertuang dalam pasal tersebut yang menyatakan "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum" terkait pemilihan umum yang menjadi rujukan. Karenanya, jawabannya ada pada Pasal 22E ayat 3 UUD 1945 yang mengatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD. 

Bahwa, menurut Yusril, pengusulan capres dan cawapres oleh parpol peserta pemilu itu harus dilakukan sebelum pemilu DPR dan DPRD. Namun, karena dilakukan secara serentak, maka presidential treshold mestinya tidak ada. 

"Apalagi pemilu serentak, yang perolehan kursi anggota DPR-nya belum diketahui bagi masing-masing partai," ujarnya.

Karenanya, dia berharap, MK sebagai pengawal penegakan konstitusi dapat jernih dalam memeriksa permohonan pengujian UU Pemilu ini. Dia menilai, pihak-pihak yang memperjuangkan presidential threshold tetap ada tentu akan mempertahankan betul-betul poin tersebut, sebagai upaya mengamankan kepentingan presiden Joko Widodo di Pemilu 2019 mendatang.

"Kepentingan Presiden Jokowi dan parpol-parpol pendukungnya sangat besar untuk mempertahankan apa yang telah mereka putuskan. Namun, saya berharap, MK tetap tidak dapat diintervensi oleh siapapun," kata Yusril.

Rapat paripurna DPR Kamis (20/7) malam mengesahkan RUU Pemilu menjadi UU Pemilu. Namun, rapat terlebih dahulu memutus secara aklamasi paket A lima isu krusial yang berisi ambang batas parlemen 20-25 persen, ambang batas parlemen empat persen, sistem pemilu terbuka, metode konversi suara sainta lague murni dan alokasi kursi per dapil 3-10.

Namun, rapat dihiasi aksi walk out empat fraksi yakni Partai Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN yang menolak dilakukan voting pada Kamis (20/7 malam ini. Hal ini juga yang membuat pimpinan sidang sebelumnya Fadli Zon ikut walk out sehingga kemudian diambil alih oleh Ketua DPR Setya Novanto.

"Berdasarkan perhitungan jumlah kehadiran anggota secara fisik dalam rapat paripurna ini dengan jumlah total 538 dan yang pro opsi A jumlahnya 322, dan opsi B 216, karena mempunyai yang masih berbeda maka kita putuskan bahwa opsi A secara aklamasi kita setujui. Apakah setuju?" ujar Novanto di Ruangan Sidang Paripurna, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Jumat (21/7).

(rr/HY)