Anam B. Januarianto - BeningPost

Dari dulu hingga sekarang kalimat yang satu ini menjadi 'senjata khas' SBY ketika ada bencana atau insiden kemanusiaan: Saya prihatin. Presiden RI ini pun menyatakan sama atas maraknya aksi anarkis dan kekerasan yang terjadi di beberapa wilayah akibat ketidakpahaman dalam menggunakan hak untuk berekspresi dan juga hak pribadi.

SBY mengatakan salah satu ekses negatif dari reformasi dan demokratisasi tersebut harus diluruskan dengan kembali memahami makna persatuan dan saling memahami.

"Di era kebebasan demokrasi sekarang ini, di era mengemukakan hak termasuk HAM, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan pers, desentralisasi dan otonomi daerah, sebagaian besar membawa kebaikan karena itu amanah reformasi. Tapi ada yang melemah, solidaritas, persaudaraan, persatuan dan kesatuan. Bahkan akhir-akhir ini muncul kembali aksi kekerasan, main hakim sendiri, premanisme dan konflik komunal atau horizontal," kata Presiden.

Ia menyatakan itu saat membuka Musyawarah Nasional Generasi Muda Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI-Polri Indonesia (FKPPI) di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Jumat (24/02),  

Presiden yang 'nyambi' jadi Pembina Demokrat itu mengatakan hal tersebut akibat tidak dipahaminya makna demokrasi dan kebebasan menggunakan hak dalam arti yang luas.

Yudhoyono mengatakan Indonesia pernah mengalami masa demokrasi liberal di era 1950-an yang mengakibatkan kondisi pemerintahan tidak stabil dan pembangunan tidak berjalan dengan baik. Masa itu, kata presiden, dikoreksi dengan adanya demokrasi terpimpin dan juga presidential yang pada akhirnya menuju era otoritarian.

Masa otoritarian berakhir dengan adanya koreksi pada 1998 dan masuk era reformasi hingga saat ini.

Bercermin dari sejarah, Presiden mengajak agar ekses negatif dari era reformasi dan demokratisasi berupa berkurangnya rasa persatuan dan keeratan bisa segera dikoreksi tanpa menunggu sejarah yang akan mengoreksinya karena akan menimbulkan dampak yang sangat besar.

"Setelah 10 tahun reformasi selain adanya kebaikan, juga adanya aksi kekerasan dan penggunaan hal yang tidak terbatas. Mari seluruh rakyat Indonesia dengan niat yang baik kita lakukan koreksi seperlunya. Tidak perlu menunggu datangnya koreksi sejarah, dengan tetap berangkat dari posisi yang telah kita miliki, HAM, hak warga negara tetap dilindungi serta ruang partisipasi publik tetap dibuka, namun mari kita pastikan kita gunakan secara patut dan tidak lebihi kepatutan," kata besan Aulia Pohan itu.