www.thefancy.com

Keadilan sosial bolehlah dikatakan berada pada dua sisi, yakni fiksi dan fakta. Fiksi tampak pada sejumlah wacana yang terus menerus digelindingkan, sementara fakta merupakan kondisi objektif wacana tersebut. Keadilan sosial hingga kini terus debatable. Adil yang dinukil dari bahasa Arab konon belum ada padanan katanya di dalam bahasa Indonesia. Sebagai bahasa serapan, adil hanya dapat didefinisikan antara lain menempatkan sesuatu sesuai porsi dan proporsinya. Adil merupakan perilaku sehingga bisa saja ia tidak perlu sebatas wacana, melainkan lebih penting pada tahap aplikasi. Keadilan dengan kata dasar adil sudah pasti menuntut manusia untuk melaksanakan kata kerja dan kata sifat itu dalam keseharian. Di kantor, di rumah, dan di dalam pergaulan sosial secara luas. Sementara keadilan sosial lebih dapat didekati lagi dalam pengertiannya yang menebar kemaslahatan. Seorang pemimpin misalnya dituntut untuk senantiasa memberlakukan keadilan sosial dalam kepemimpinannya. 

Hari Keadilan Sosial se-Dunia ditetapkan pada tanggal 20 Februari. Artinya tanggal 20 Februari sebisa mungkin manusia memberlakukan keadilan sosial dalam segala hal, dan bukan hanya sebatas pada peringatan hari besar internasional itu saja. Keadilan sosial dalam bahasa lain social wisdom (?) merupakan penanda betapa diam-diam padanan kata yang tampak sederhana itu terbukti sulit mengaplikasinya. Kita lebih suka terlibat pada perdebatan menyoal keadilan sosial daripada menerapkan maknanya. 
 
Merunut muasalnya, pada November 2007 PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan resolusi yang menetapkan hari Internasional baru, yaitu Hari Keadilan Sosial Sedunia, yang jatuh pada tanggal 20 Febuari. Ya, memang harus diakui hari penting Internasional ini banyak masyarakat Indonesia yang belum mengetahuinya. Resolusi itu menyerukan semua negara di dunia untuk menjalankan sistem perekonomiannya berdasarkan keadilan, kesetaraan dan tanggung jawab bersama. Lantas kita mungkin bertanya, sistem perekonomian berdasarkan keadilan, kesetaraan dan tanggung jawab bersama yang seperti apa lagi? Bila kita melihat realitas perekonomian global saat ini, pertanyaan yang muncul kemudian adalah “Masih relevankah seruan resolusi Hari Keadilan Sosial se-dunia tersebut?". Sulit memang seruan resolusi itu, apa lagi melihat sistem perekonomian dunia yang saat ini, sepertinya jauh dari harapan, dan sangat mustahil, kecuali memang ada keinginan serius untuk menghancurkan sistem yang saat ini berlaku.
 
Artinya sudah 6 (enam) tahun bahwa 20 Februari menjadi hari besar internasional. Padahal sudah ratusan tahun keadilan sosial kurang mendapat perhatian. Pemerintah sibuk memperhatikan keadilan sosial bagi kelompok pendukungnya, demikian pula PBB masih belum sukses melaksanakan keadilan itu sepanjang masih ada 5 (lima) negara pemilik hak veto di Dewan Keamanan. Terlebih keadilan sosial dalam pengertian ekonomi. Faktanya jauh api dari panggang. Dan fakta pula yang bertutur bahwa jika negara semakin kuat ~dalam hal ekonomi, teknologi, budaya, dsb~ semakin kuat juga keinginan untuk menaklukkan negara lain. Silang peradaban, sengketa peradaban, atau peradaban yang saling meniadakan merupakan contoh betapa keadilan sosial dikangkangi oleh negara yang kuat terhadap negara lemah. Imperium atas nama ekonomi dan lain-lain dewasa ini merupakan bentuk penghianatan terhadap asas keadilan sosial. Ironinya, negara yang belum kuat (seperti Indonesia) pun diam-diam melakukan penghianatan keadilan sosial terhadap warganya sendiri, meski sejak 1998 angin perubahan bertiup kencang di negeri elok bak hamparan zamrut di  khatulistiwa ini. 
 
Mencederai 
 
Agaknya kita mafhum bahwa padanan kata ini (keadilan sosial) memang lebih asyik bermain dalam wacana dan teks, serta kurang menampakkan sosoknya. Jika pun ada misalnya dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ia cepat menguap lalu terbang dibawa angin tatkala LSM tersebut memperoleh kebaikan dari pihak yang dieksposnya lantaran ditengarai melakukan pelanggaran keadilan sosial. Lihatlah beberapa peristiwa kemanusiaan di Papua, dan beberapa daerah konflik di Indonesia ~adakah yang benar diselesaikan secara tuntas serta berpihak pada keadilan sosial? Keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh sila kelima Pancasila. 
 
Piagam PBB Bab X tentang Dewan Ekonomi dan Sosial dijelasakan di pasal 62 sebagai berikut: (1). Dewan Ekonomi dan Sosial dapat membuat atau memprakarsai studi-studi dan laporan-laporan yang bertalian dengan masalah-masalah ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, kesehatan internasional, dan masalah-masalah yang berhubungan dengan itu dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi mengenai masalah-masalah tersebut kepada Majelis Umum, kepada Anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kepada badan-badan khusus yang bersangkutan. (2). Dewan tersebut dapat memberikan rekomendasi untuk tujuan meningkatkan penghormatan dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua orang. (3). Dewan tersebut dapat mempersiapkan rencana-rencana konvensi untuk diajukan kepada Majelis Umum betalian dengan masalah-masalah yang termasuk dalam ruang lingkup kewewenangnya. (4). Dewan tersebut dapat mengadakan, sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, pertemuan-penemuan international mengenai hal-hal yang berada dalam kompetensinya.
 
Ada gambaran ideal membaca Pasal 62 ayat 1-4 tersebut di atas. Namun di balik itu kuasa dan hegemoni negara kuat terhadap negara lemah masih terus berlangsung bahkan sulit dieliminir. Terlebih apabila hegemoni dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap sejumlah negara di Asia dan Afrika. Belum lagi Syiria usai dan mengembalikan keadilan sosial bagi warganya, Mesir pun diusik, dan entah kelak negara mana lagi. Belum lagi Korea Utara yang terus dipojokkan oleh percobaan nuklir sementara penentangnya merupakan produsen senjata nuklir. Hegemoni dapat dimaknakan sebagai pembuka keberlangsungan imperium baru, yang boleh jadi berawal dari faktor kecemburuan atas ketersediaan Sumber Daya Alam (SDA) di negara-negara yang dianggap tidak mengikuti kehendak penguasa (baca: AS dan kawan-kawan).  
 
Hegemoni ekonomi berujung pada penghianatan keadilan sosial, dan cara yang biasa ditempuh ialah dengan menjatuhkan pemerintahan yang berkuasa di negara tujuan. Asia Afrika yang kaya SDA sepertinya tak pernah lepas dari pengingkaran keadilan sosial yang digagas rapi serta dikreasi seakan-akan tindakan hegemoni itu menjadi benar. Jikalau tindakan AS (umpamanya invasi militer) terhadap suatu negara di Asia Afrika lalu diikuti Inggris dan Prancis, mungkinkah Rusia dan China akan menang voting di Dewan Keamanan PBB? Tiga banding dua jelas menang tiga, dan itu artinya hegemoni ekonomi yang mencederai rasa keadilan sosial masyarakat dunia diam-diam memperoleh pembenaran dari PBB. Dari lembaga internasional yang mengedarkan Piagam menyoal Dewan Ekonomi dan Sosial.
 
Rasa keadilan sosial yang masih jauh api dari panggang itu sebaiknyalah kita lakukan dalam keseharian untuk tidak menyakiti rasa keadilan. Menyakiti rasa keadilan sama dan sebangun dengan meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Indonesia sebagai anggota PBB, sepatutnyalah melaksanakan keadilan sosial di negerinya sendiri untuk bangsanya sendiri dan untuk disajikan ke hadapan dunia internasional sebagai suri teladan. Indonesia bahkan harus memberi contoh manifestasi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebelum melangkah jauh ke kancah pergaulan internasional. Mampukah? Semoga! Meski saya meragukan kemampuan itu.
 
 
 
 
(msm)