Muhammad Sholich Mubarok - BeningPost

Sajian gosip murahan seperti perseteruan mantan suami istri Ahmad Dhani – Maya Estianti atau kisah -kasih playboy macam Anang Hermansyah dengan perempuan – perempuan yang berduet dengannya. Atau juga  yang paling hot pemberitaan pedangdut Saipul Jamil yang ditinggal istrinya selamanya –lamanya di Tol Cipularang, hingga rajin sekali mengumbar air mata tiap kali diekspose kamera dan membintangtamui acara infotainment.

Seperti itu pula lah sajian korupsi yang terus terjadi di negeri yang serba ‘absurd’ ini. Padahal Kasus suap  tidak akan terjadi bila Penyelenggara Negara tidak memberikan kesempatan pada perusahaan penyuap. Sen demi sen rupiah yang disetorkan rakyat pun di selewengkan seenak udelnya sendiri oleh Teroris Senayan padahal gaji sudah sangat besar. Rasanya percuma saja anggaran Negara yang besarnya kini mencapai Rp. 1.229,6 triliun namun di perlakukan oleh semena – mena tangan-tangan setan. Tenderisasi yang jadinya bisa di filter secara shahih pun bisa dimanipulasi sedemikian mudahnya.

Beberapa skandal korupsi yang telah ada ( yang terbaru kasus suap Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ) secara terang benderang mengindikasikan betapa tender tak lebih hanya formalitas belaka. Teroris Senayan yang jadinya menjalankan amanah untuk mengawasi penggunaan anggaran Negara justru ikut andil dalam permainan kotor, bahkan mereka punya tangan lain untuk menentukan siapakah pemenang tender proyek.

Agar perampokan halus itu tak berlanjut, Sang Presiden yang sedang merayakan hari lahirnya ke- 62 itu perlu merombak atau mengubah mekanisme penganggaran tentu saja bersama DPR terhormat. Sampai detik ini mekanisme penganggaran di DPR hanya sampai satuan tiga atau proyek per proyek. Pemerintah ‘mampu’ bertanggungjawab pada sisi ‘pendapatan’. Tentu saja mekanisme yang tak intelek itu makin melebarkan peluang praktek korupsi.

Yang jadi pertanyaan, bersediakah para dewan terhormat Senayan itu dikurangi wewenangnya?

Hanya Tuhan dan kalangan yang mendapat tunjangan menggunung itu saja yang tahu.

Perilaku bejat para elit politik itu akan jadi boomerang bagi mereka, partai yang membesarkannya juga tak lewat. Bila di gambarkan pada grafik, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol, lebih – lebih demokrasi, akan ada pada titik nol alias kemerosotan drastis bila tidak ada stagnasi praktek menjijikan tersebut, seakan korupsi sudah mengakar urat dan tak takut mati untuk (ber) korupsi.

Pemilihan umum mendatang yang akan menjawab, secara 'halus' masyarakat bisa menghukum partai – partai yang merampok anggaran Negara. Biar bagaimanapun, rakyat tidak bodoh!