www.beningpost.com

Bocoran Panama Papers yang dikeluarkan oleh International Consortium of Investigative Journalists, dan menampilkan nama sejumlah tokoh, bukan cuma pebisnis, tapi juga politikus hingga para pejabat publik Indonesia yang menginvestasikan dana mereka dalam berbagai skema dengan mendirikan perusahaan (offshore company) di negara surga pajak (tax haven) menjadi wacana yang menarik.
 
Sebagian masyarakat awam memaknainya sebagai praktik melanggar hukum, baik berupa pengelakan pajak (tax evasion), penyembunyian hasil kejahatan, berikut pencucian uang.
 
Berbeda dengan awam, kalangan investor, pengusaha, pakar keuangan, atau ekonom memahami, dalam dunia investasi, pengelolaan keuangan dan sejenisnya, ada yang namanya tax planning, tax avoidance dan sejenisnya.
 
Hal tersebut dikatakan tidak serta merta ilegal atau melanggar hukum, sehingga lazim dilakukan oleh para investor, atau mereka yang namanya muncul dalam Panama Paper tadi.
 
“Pembahasan di media arus utama berlangsung seru, tapi belum memberikan porsi yang memadai mengenai hal-hal mendasar mengenai praktik offshore fund,” kata Direktur Eksekutif Eka Tjipta Foundation, Hasan Karman yang memoderatori temu wicara ETF Fellowships Gathering bertajuk ‘Panama Papers: Pemahaman, Pemberitaan, dan Hak Asasi’ di Sinar Mas Land Plaza Jakarta, hari ini, Selasa (17/5).
 
Menurut Hasan, mana yang boleh dilakukan, mana yang tidak melanggar hukum, mana yang tergolong pelanggaran hukum, kenapa itu dilakukan, bagaimana caranya, dan siapa yang melakukannya,”.
 
Hadir sebagai pembicara dalam acara ini Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Muhammad Yusuf dan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, M. Imdadun Rahmat.
 
Pemberitaan yang kuat tanpa penjelasan yang memadai menurutnya bisa membuat publik menduga-duga jika mereka yang namanya tercantum dalam Panama Paper sebagai pihak yang bersalah, setidaknya punya niat tak baik.
 
Hal ini yang mendorong ETF mendiskusikan tema tersebut melibatkan para penerima ETF Fellowship, beasiswa yang disalurkan ETF bagi para profesional dari berbagai bidang untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang strata 2 maupun strata 3. Sekitar 100 orang penerima beasiswa hadir pagi ini.
 
Muhammad Yusuf mengatakan bahwasanya jumlah nama yang disebut dalam Panama Paper, ICIJ Offshore Leaks dan sejenisnya, tidaklah sebanyak Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang diverifikasi lembaganya, dimana tahun 2015 saja jumlahnya mencapai lebih dari 56 ribu laporan.
 
Dengan kata lain, pihaknya lebih mengkhawatirkan masih terdapatnya celah dalam skema bisnis akibat lemahnya pengawasan, yang berpotensi digunakan untuk melakukan kejahatan
 
Ia mengingatkan, tidak semua nama yang ada dalam bocoran serta merta bersalah, sembari menyitir riwayat Nabi Muhammad yang menyebut ketika melakukan sesuatu, jika nurani kita ragu dan merasa malu hal tersebut diketahui orang lain, itu pertanda hal tersebut buruk atau berdosa. Demikian pula sebaliknya.
 
Sementara M. Imdadun Rahmat yang adalah lulusan program ETF Fellowship menilai peretasan data  dalam Panama Papers tergolong pelanggaran privasi. Karena dilakukan tanpa didasari undang-undang tertentu, bukan atas perintah pengadilan atau otoritas yang sah, dan tidak dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang.
 
Dampaknya, menurut Imdadun adalah berkurangnya kemerdekaan, keleluasaan dan otonomi individu yang disebut namanya dalam bertransaksi ekonomi dengan pihak lain, bahkan dapat merusak nama baik mereka yang secara hukum tidak melakukan pelanggaran, tetapi secara umum kadung dihakimi publik seolah bersalah.
 
Sejauh mengikuti kaidah jurnalisme, dirinya menilai media yang memberitakan Panama Papers tetap terlindungi secara hukum. “Yang dapat dilakukan negara adalah memverifikasi dan mengklarifikasi nama-nama yang disebut dalam Panama Papers, dengan memisahkan antara yang melanggar hukum dan tidak melanggar,” paparnya.
 
Setelah itu, lanjut Imdadun adalah menjelaskan kepada publik seputar status hukum offshore funding. Selain itu, negara juga wajib merehabilitasi mereka yang tidak melanggar hukum, tapi telanjur dihakimi publik.
 
Muhammad Yusuf berharap Pemerintah memiliki pandangan yang selaras mengenai hal ini. Jika UU Pengampunan Pajak menjadi solusinya, Pemerintah harus menerapkannya dengan konsisten. Jangan sampai setelah nanti dana yang ada di luar negeri tadi dibawa kembali ke Indonesia, tapi belakangan orangnya malah diproses hukum misalnya.
 
Disisi lain, pihaknya menginginkan pemrosesan temuan lembaganya bisa dilakukan lebih progresif oleh aparat penegak hukum dikarenakan proses yang lambat membuat manfaat yang hilang semakin masif, dan merugikan bangsa dan negara.
 
Dalam perspektif hak asasi, ini dilihatnya sebagai pelanggaran tersendiri. Imdadun menyetujui pandangan ini dengan menyebut pada dasarnya memerangi korupsi adalah implementasi dari penegakan hak asasi manusia.
 
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum ETF, G. Sulistiyanto mengatakan, Forum berkala ini kami gelar agar para penerima beasiswa – yang kami harapkan mampu berperan sebagai agen perubahan – dapat saling bersilaturahim, memperluas jaringan, sekaligus memperkaya wawasan atas beragam isu atau topik terkini dari sumber pertama, atau yang berkompeten.
 
(rr/Syam)