dunialawas.blogspot.com

Dadang Kusnandar - BeningPost

Catatan ini disajikan sebagai komparasi bagi acara diskusi buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII yang diadakan di Erasmus Huis, Jakarta 29/6/2012. Konflik yang pedih sekaligus meminggirkan peran pribumi dalam berbagai aspek sosial politik ekonomi dan budaya. Imperialisme yang pada mulanya dijejak oleh kongsi dagang Belanda yang bernama VOC. Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) atau VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 adalah perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia.

Diskusi buku dengan pembicara  Hendrik E. Niemeijer, Bondan Kanumoyoso, Yasmine Zaki Shahab, dan moderator JJ Rizal ~merupakan upaya pengetahuan sejarah keberadaan VOC di Batavia. Berkaitan dengan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Jakarta ke-485 agaknya diskusi ini cukup menarik. Setidaknya ingatan masyarakat dikuak kembali menyangkut statuta Batavia saat itu. Upaya ini bukan sekadar romantisme sejarah atau meratapi sesuatu yang hilang, melainkan refleksi untuk mengambil hikmah bagi generasi berikutnya.

Setelah Batavia didirikan, VOC mengatur perdagangan antara Pulau Jawa, Nusantara, dan Tiongkok. Kepala Penerangan Kantor Dagang Taiwan di Jakarta Tommy Lee menjelaskan, Pemerintah VOC menjadikan Kota Pelabuhan Tainan di Taiwan sebagai gerbang ekspor-impor dari Tiongkok menuju Kepulauan Nusantara. ”Ada hubungan dagang yang erat pada awal abad ke-17 antara Batavia dan Tainan,” katanya. Hubungan itu semakin kokoh semasa Kapiten Tjina pertama Batavia, Souw Beng Kong, memimpin komunitas Tionghoa di Batavia (1580-1644).

Sejarawan dari Arsip Nasional Republik Indonesia, Mona Lohanda, dalam buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia menulis, pelayaran terbentang dari Amoy di Provinsi Fujian dengan Batavia sejak 1620 hingga awal abad ke-19.

Kompeni di Cirebon

Konflik internal Cirebon abad 17 menurut Dr. Nina Herlina Lubis, lebih mengemuka dibanding konflik eksternal. Nina mencontohkan Pangeran Aria Carbon yang berhasil mengubah konflik internal dan menjadikan beliau sebagai intelektual pada zamannya. Urung jadi sultan namun menghasilkan kitab Purwaka Caruban Nagari, juga seorang ahli hukum pertanahan, hingga diangkat Kompeni menjadi pengawas pemerintahan.

Upaya meredusir konflik seharusnya dilakukan oleh keluarga keraton saat ini. Pertikaian keluarga lantaran berebut jabatan sultan sejak abad ke 16 di kerajaan-kerajaan Islam Indonesia berakibat lumpuhnya kerajaan. Keadaan ini memudahkan VOC memasang jeratnya, dan pada gilirannya menjadi imperium VOC, sebuah kongsi dagang Belanda yang dipersenjatai. Rujukan sepenggal biografi Pangeran Aria Carbon, tak cuma menjadikan kekaguman kita bertambah; tetapi juga memberi hikmah tentang cara smart power meredusir konflik internal. Keluarga keraton yang lantaran berbagai sebab meninggalkan istana, lalu di tempat baru menggulati keilmuan yang maslahat ~antara lain ilmu agama dan kemasyarakatan.

Contoh lain pun dilakukan Pangeran Sutajaya yang menjauh dari istana ke pesisir Losari. Dari sinilah Pangeran Losari membina masyarakat melalui tajug (musholla), dan meniupkan heroisme serta perlawanan kepada VOC. Nama lain ialah Mbah Muqoyim yang mendirikan Ponpes Buntet di Astanajapura paska meninggalkan istana. Bila membedah sejarah cirebon di abad konflik itu, sederet nama besar leluhur Cirebon akan kita dapati.

Cirebon abad 17 adalah Cirebon yang ilang kaprabon, Kuningan yang kelangan, dan Sumedang yang wirang. Artinya Cirebon yang hilang kerajaannya, Kuningan yang kehilangan, dan Sumedang yang memalukan. Dalam ujaran budayawan kampung, Kartani, “Saat itu Cirebon remek bebek (hancur lebur).” Soalnya bisa dirunut dari konflik kepentingan internal yang mematikan Pelabuhan Amparan Jati/ Muara Jati yang telah memiliki lampu mercusuar di akhir abad ke 15 hingga Laksamana Cheng Ho dengan 600 armada besarnya singgah ke Cirebon.

Konflik kepentingan internal itu lantas mematikan perniagaan pelabuhan dan sungai. Urat nadi ekonomi wong cerbon terputus. Pantas saja bila dua dari sekian petatah petitih Sinuhun Jati ada yang demikian : Aja dagangan atawa warungan (jangan berdagang jika hanya dijadikan tempat berkerumun), dan Aja lunga layaran ing lautan (jangan berlayar ke lautan, bila tak punya persiapan).

Konflik Cirebon abad 17 setidaknya memunculkan harapan pentingnya pengetahuan sejarah bagi masyarakat, pertautan sejarah dengan hikmah yang dapat dipetik dari pelajaran masa lalu, atau merangkai kembali the golden age yang ada pada sejarah lokal dengan kesadaran postmodernis.  Dapat dibayangkan jika kekuasaan seorang Tumenggung / Bupati serta kuwu/ kepala desa pada upacara pelantikan yang bernama Gegelan Tanda Keprabon (GTK) menelan biaya tinggi. GTK meminjam Kartani harus menyediakan makan minum kepada pasukan Kulun-kulun sebagai paspamdes (pasukan pengaman desa) dan warga desa dengan menyembelih minimal 2 (dua) ekor kerbau, kuwu mider keliling tapal batas desa, menggelar kesenian wayang kulit ruwatan -tayub-ketuk telu-sampyong. Pakaian adat dan kebesaran tampak di GTK. Begitulah jabatan tumenggung dan kuwu seumur hidup memungkinkan digelarnya GTK. Kalau kini ada upacara yang bernama sertijab (serah terima jabatan), agaknya terinspirasi oleh GTK sejak abad 15 di Cirebon.

Membicarakan sejarah cirebon tak lepas dari khasanah cerita lisan pun terbukti memperkaya kebudayaan di sebuah wilayah yang sebelum kedatangan Sunan Gunungjati dengan gelar Panetep Panatagama Rasul di Tanah Sunda, serta Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panataga Awliya Alllah Kutubid Jaman Khalkifatur Rasulullah saw, masih berupa hutan sunyi di pesisir utara Jawa. Kekuasaan dan jabatan Sunan Gunungjati (SGJ) sebagai kepala agama dan kepala negara, mengutip Dadan Wildan, “Aktivitas SGJ yang tampil sebagai kepala negara sekaligus sebagai salah seorang Walisanga lebih memprioritaskan pada pengembangan agama Islam melalui dakwah”. Langkah itu ialah menyediakan sarana ibadah keagamaan dengan mempelopori pembanguan Mesjid Agung dan mesjid-mesjid jami di wilayah bawahan Cirebon.

Di bidang pemerintahan dibangun keraton, sarana transportasi melalui jalan laut, sungai, dan jalan darat, pembentukan pasukan keamanan untuk menjaga bahaya (jagabaya) yang jumlah dan kualitasnya memadai baik di pusat kerajaan maupun di wilayah yang telah dikuasainya. Untuk mendanai berbagai pembangunan tersebut, diberlakukan pajak yang jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan sehingga tidak memberatkan rakyat yang baru terlepas dari kekuasaan kerajaan Pakuan Pajajaran.

Konflik internal pun mensuat dari sengketa pertanahan antara kerajaan Cirebon dengan pemerintah saat ini. Upaya merdusir konflik tersebut dapat diawali membuka kembali perjanjian VOC dengan Sultan Cirebon masa lalu, dengan kajian oleh pakar hukum pertanahan Harto Yuwono. Ini penting untuk membuktikan berbagai hal menyangkut perjanjian pertanahan pada abad ke-17 itu, misalnya kejelasan menelisik keabsahan perjanjian tertulis karena beberapa perjanjian pertanahan ada yang menuliskan: Jangan diberi tahu kepada siapa tanah ini dijual.

Bukan Romantisme

Berbekal kekuatan, kesungguhan leluhur Cirebon mengatasi konflik yang dilakukan secara soft power (misalnya pernikahan keluarga kerajaan dengan kerajaan lain) smart power (sebagaimana dilakukan Pangeran Aria Carbon), beragam konflik yang kini kembali mengemuka di Cirebon sudah seharusnya diantisipasi melalui kedua cara tersebut di atas. Terlebih penting adalah dengan kecerdasan menangkap nuansa sejarah, mengkompilasi imajinasi dalam melaksanakan kepemimpian ~imajinasi: satu hal yang diingatkan pemikir Islam Sayyed Husen Nashr~  sebaiknyalah sebesar apa pun konflik harus dapat diselesaikan melalui cara-cara yang cerdas.

Konflik abad 17 inilah yang meminggirkan peran wong Cirebon dalam banyak hal. Bukan saatnya lagi bicara siapa keturunan siapa, melainkan apa yang telah dilakukannya bagi Cirebon. Seloroh Susanto Zuhdi agak menggelitik ketika berkata, “Kerajaan Buton (Sulawesi Tenggara) diislamkan oleh SGJ”. Lebih lanjut ia mengatakan Cirebon sebagai kesultanan yang terombang ambing. Atau dalam bahasa Nina Lubis: Surat Perjanjian tanggal 7 Januari 1681, Cirebon resmi menjadi vassal VOC. Jadilah urusan perdagangan diserahkan kepada VOC, berbagai keputusan semisal pergantian sultan dan penentuan jumlah prajurit harus berdasar persetujuan VOC di Batavia, ketika sultan akan bepergian harus seijin VOC dan naik kapal mereka, dan dalam berbagai upacara penting pejabat VOC harus duduk sejajar dengan para sultan”.

Akankah hanya lantaran konflik kepentingan internal dengan mengusung politik sebagai panglima, Cirebon 2010 harus mengalami kembali masa gelap sejarah abad ke-17 itu? Belajar dari kisah usang dan kegetiran masa tersebut, seharusnyalah kita kembali memposisikan diri tidak sebatas warga yang pasif. Memajukan Cirebon dalam berbagai bidang sesuai kapasitas dan kapabilitas, menyelesaikan konflik internal yang mungkin melebar menjadi konflik publik, mesti segera diakhiri. Bukan saatnya lagi merenda serta mengingat kejayaan masa lalu dengan dalih romantisme sejarah. Zaman terus bergerak. Manusia tetap menjadi wakil tuhan di muka bumi untuk merepresentasikan nilai kebaikan dalam relasi sosial.

Konflik Cirebon abad XVII tentu saja tak boleh terulang dan menjadi cerita pedih yang diwariskan kepada Wong Cerbon berikutnya.

 

*) Notulen pada Seminar Konflik Cirebon Abad 17, diadakan pada 28 September 2010